Sabtu, 05 Februari 2011

Politik Kampus Rakyat sudah “Merakyat”kah??? : Refleksi dari Politik Nasional Kini

APA KABAR INDONESIA KINI?


Politik kita sudah lama mengalami mediokratisasi. Dalam tataran Nasional, reformasi terbukti tidak menghasilkan negarawan, melainkan teknisi politik belaka. Teknisi politik adalah mereka yang menguasai siasat untuk menundukkan lawan politik melalui tekanan psikopolitik ataupun finansial. Kekuasaan menjadi sesuatu yang tidak dipertanyakan, melainkan sekadar dipertahankan. Benar atau salah sebuah kebijakan disandarkan pada kekuatan lobi dan bukan transparansi dan akurasi data.

Demokrasi menjadi ajang negosiasi antar- elite yang mengabaikan akar rumput. Tidak ada debat yang bermutu! Semuanya sekadar topeng bagi distribusi pendapatan yang berjalan tanpa suara. Degradasi mutu politisi diperkuat lagi oleh kenyataan bagaimana dinamika elit politik sering kali lepas dari aspirasi akar rumput. Elite politik hanya bermain dengan logika sendiri bernama kekuasaan. Namun, sering kali elite malah lupa kepada ‘rakyat’-nya begitu berkuasa.

Berkorelasi dengan iklim politik negeri ini, Tahukah kalian bagaimana siklus kepemimpinan bangsa ini? Ya, benar! siklus kita adalah ; Ketika muda mengkritik - Kemudian memimpin - selanjutnya ketika tua malah dikritik yang muda……begitulah seterusnya, KONYOL!!! Titik krusial persoalan pun bukanlah pada pola konflik antara pro-status quo(senior) versus pro-perubahan (junior). Namun, justru yang menjadi persoalan adalah ada atau tidak-nya transformasi kepemimpinan. 

Tranformasi kepemimpinan pun hanya akan terjadi jika masing-masing aktor mau melepas keegoisan pribadi dan meleburnya menjadi keputusan bersama, bukan hanya sibuk ribut dalam “ruang sempit” mereka. Tanpa mau peduli dengan kebingungan publik melihat ulah para elite politik yang kekanak-kanakan tersebut.
Politisi pendahulu kita pun yang berangkat dari kalangan intelektual, seperti Soekarno, M Hatta, dan M Natsir tidak pernah berpikir,“Logika politik dan intelektual sangat berbeda karena dunianya juga sangat berbeda…”. Akan tetapi mereka berpikir,”Point penting-nya adalah bagaimana menyatukan gerak kebenaran yang diyakini di dunia intelektual bisa menjadi keputusan politik!”

Politik pun bukan hanya sekedar bicara menang-kalah dalam merebut kekuasaan atau sekedar memilih dan dipilih. Pemikiran yang sangat sempit, kawan! Kita belajar dari kepemimpinan Nasional era Reformasi selama 10 tahun terakhir ini. Bagaimana parpol muncul mendadak, menjadi besar, lalu turun terus. Bagaimana seorang pemimpin atau figur naik tiba-tiba dengan dukungan massa mayoritas, kemudian turun dan lenyap seketika. 

Toh’ tidak semua yang menang itu akhirnya berkuasa dan tidak semua yang berkuasa pada akhirnya memimpin. Saya malah khawatir negeri kita ini sebenarnya dipimpin oleh The Ghost Leaders (para pemimpin bayangan). NEGARA DALAM NEGARA! Dimana untuk sekedar berkunjung ke Tambang Freeport Papua sendiri pun harus izin ke Negara lain, MIRIS!


POLITIK KAMPUS IPB?
Oke, untuk sekarang kita memang belum punya ‘taring’ berbicara di tataran politik Nasional. Lantas, bagaimana dengan kondisi politik dunia terdekat kita yakni kampus IPB menjelang Pemira 2010 kini? Apakah sama dengan politisasi elitis nasional di atas? Terlepas dari penilaian publik IPB, akan sangat disayangkan jika Pemira IPB baik KM maupun Fakultas hanya ‘dipanasi’ oleh para elite kampus dan bukan dari mahasiswa ‘akar rumput’. Bukankah hak berpolitik milik semua orang di negeri yang mengaku demokratis ini??? 

Bercermin pada tulisan di awal, bahwa tidak semua yang menang itu akhirnya berkuasa dan tidak semua yang berkuasa pada akhirnya memimpin. Sehingga pada dasarnya kita bukan sekadar bicara tentang persoalan figur. Kita seharusnya berpikir tentang ide-ide besar dan kapasitas calon-calon pemimpin kita. Modal dasar untuk membawa IPB ke arah mana dan akan sebagai apa ke depannya dalam kontribusinya di masyarakat khususnya pertanian?

Visi IPB 2008-2013 yang berbunyi "Menjadi perguruan tinggi berbasis riset kelas dunia dengan kompetensi utama pertanian tropika dan biosains, serta berkarakter kewirausahaan“ . Apakah sudah berkorelasi dengan visi dan misi para Capresma dan Cawapresma IPB Pemira 2010 dalam tataran perannya sebagai Lembaga Kemahasiswaan Pusat IPB?

Seperti diutarakan aktivis gerakan sosial transnasional Hilary Wainwright (2009) dalam Rethinking Political Organisation. Kekuasaan haruslah dimaknai bukan sebagai praktik dominasi, tetapi praksis untuk menggerakkan kapasitas transformasi bersama rakyat (power as transformative capacity). Rakyat adalah subyek dalam proses politik yang menempatkan politisi sebagai fasilitator dan penghubung antara kepentingan publik dan dinamika politik dalam arus politik utama.

Untuk kalian ‘Rakyat Intelektual’ Kampus IPB, mari kita manfaatkan momentum Pemira KM IPB 2010 ini untuk berkontribusi secara riil dalam rangka memajukan dunia pertanian yang lebih baik lagi ke depannya.

(Diposkan menjelang PEMIRA IPB November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar