Sabtu, 05 Februari 2011

Kapan Momentum Kepahlawanan Kita ??? (Refleksi Catatan Hidup Seorang Aktivis)

            Entahlah,  aku tak tahu sudah berapa kalinya aku harus berdebat dengan dosen ini untuk teori hukum yang ia ajarkan. Bagiku dosen bukanlah Tuhan yang benar dalam segala hal! Aku tak peduli dan menyesal untuk ‘kenakalanku’ hari ini…..Ya, aku telah meludah di depan dosenku!!!  Dan  akupun dipastikan mendapat nilai E  di tahun akhirku sebagai mahasiswa Fakultas Hukum salah satu PTN di Sumatera ini. Bagiku itu bukan kiamat, aku merasa aku benar jadi mengapa mesti takut apalagi meyesal.

            Aku dilahirkan dari lingkungan keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai agama. Bahkan untuk memilih partai dalam pemilu pun kami sekeluarga harus memilih parpol yang nyata-nyata menyebut merk Islam dalam kampanye-nya, parpol di luar itu kata ayahku parpol orang murtad!, he,,he,,,aku pun hanya bisa ‘nrimo’ dan tersenyum menerimanya. 

Tapi itu dulu, kini semenjak aku menjadi mahasiswa sekaligus aktivis yang telah banyak melihat dunia luar, aku merasa pemikiran seperti itu terlalu sempit apalagi di Negara yang majemuk ini. Maka ketika pemilu pun aku memilih partai Nasional dan bukan partai Islam, otomatis ini pun membuat ayahku berang…sekali lagi, aku tak peduli, toh ini prinsip hidup yang telah kuyakini.

            Pemikiran Bung Karno sangat mewarnai hidupku, di kampus hijau ini aku aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia selaku Koordinator Sumatera bagian selatan. Entah sudah berapa kali konsolidasi ‘bawah tanah’ dan lobi-lobi politik kugencarkan untuk merebut tampuk kekusaaan politik di kampus ini. Aku akan membela orang yang memang kuanggap benar, selebihnya aku tak peduli…jika pun orang2 yang kubela salah, kuyakini akulah orang pertama yang menjadi lawan bagi mereka. Di sini aku banyak belajar tentang ‘realitas’ dalam politik yakni tidak semua teman adalah ‘teman’, karena tak jarang teman dalam politik jadi musuh dalam selimut. 

             Selepas dari kampus ini, ayahku telah menyiapkan pekerjaan untukku…yakni PNS!!!! Bagiku ini konyol, saat mahasiswa aku mati-matian mengkritik pemerintahan dan kini setelah keluar dari kampus aku malah menjadi bagian yang kukritik selama ini. Dan pada akhirnya ‘idealisme’-ku pun menang aku keluar dari pekerjaan PNS, sebuah jabatan yang mati-matian ayahku dapatkan. Aku pun dianggap anak tak tahu terimakasih……………bagiku tidak masalah, yang penting aku telah mempertahankan prinsip hidup yang selama ini aku yakini benar.

            “Soeharto Koruptor………!!!” merupakan salah satu judul tulisanku yang akan kukirim ke Editor nanti sore untuk turun cetak edisi besok. Entah sudah berapa kali aku dipanggil polisi atau bahkan polisi sendiri yang ‘bertamu’ ke rumahku terkait tulisan-tulisanku ‘nyeleneh’ menurut mereka. Aku tak peduli dan ambil pusing, jika aku harus mati sekalipun karena ini, aku bangga dengan kematianku!!!  

            Berbeda denganku, isteriku adalah PNS sehingga tak heran ketika pemilu meski kami suami istri tapi parpol pilihan kita berbeda. Sudah jadi rahasia umum saat itu, semua PNS dari tingkat pusat sampai RT-RW diwajibkan memilih partai berlambangkan pohon beringin warna kuning. Dan aku seperti biasa dengan tenang mencoblos partai nasionalis minoritas saat itu yakni partai X, sebuah pilihan hati dan bukan paksaan yang dibuat-buat!!!

            Momentum Reformasi 1998 pun meletus dan banyak orang yang menjadi ‘bunglon’, ha..ha…aku pun hanya bisa tertawa melihat lucunya rakyat di negeri ini. Mereka yang selama ini mengelu-elukan sang penguasa dan memandang sinis kekritisanku, kini malah berbalik menghujat sang penguasa beserta kroni-kroninya termasuk partai beringin sebagai penyebab krisis ekonomi dan politik saat itu.

            Seiring dengan waktu, aku telah masuk ke jajaran kepengurusan resmi partai nasionalis X. Aku sadari meski pun organisasi ini kuyakini, akan tetapi ini bukan organisasi kumpulan malaikat. Banyak intrik politik busuk di dalamnya, uang dan materi banyak bermain, dan tidak aku pungkiri hampir semua partai pasti pernah melakukannya. Pada saat ini, jujur sangat sulit aku mempertahankan idealisme yang aku banggakan selama ini apalagi di tengah tuntutan hidup kami sekeluarga.

            Awal tahun 2002 aku membuat ‘lawakan’, untuk pertama kalinya di Kabupaten kelahiranku diadakan Open Recruitment Bupati. Aku bersama motor Honda Astrea-ku pergi mendaftar ke kantor pemda yang berjarak 32 Km dari rumah. Sampai di sana kuparkir-kan motor ku di tengah-tengah mobil mewah para calon bupati lainnya. Aku sadar diri dengan kondisi ku seperti ini  sangat mustahil untuk lolos menjadi Bupati. Sesampai di sana, persyaratan tes kesehatannya yang mencapai 500 ribu cukup membuat  kantong-ku mengkerut, he..he..:)

            Aku tak peduli dengan tanggapan sinis mereka terhadap aksi ‘lawakan’-ku, toh tujuan utamaku hanya satu. Aku ingin menyampaikan pesan kepada mereka bahwa masih ada orang (tanpa harta) yang siap jadi ‘pedang’ yang akan meluruskan mereka. Mereka yang dengan uang dan powernya tapi miskin kapasitas berani memimpin.  Mereka yang berkampanye membela rakyat, tapi justru penghisap darah rakyat..........

             Hari itu pada tahun 2004, aku kembali terkenang dengan catatan Gie yang berbunyi “Lebih baik saya diasingkan, daripada menyerah terhadap kemunafikan.”  Aku tak habis pikir dengan teman-temanku di partai X ini, yang sibuk melobi sana-sini untuk menjadi Caleg Pemilu 2004 ini. Aku tak peduli bahkan akan mendukung jika memang mereka pantas dan punya kapasitas untuk mencalonkan diri. Tapi untuk sekian kalinya sense idealisme-ku tertantang. Ada begitu banyak manuver kotor hilir mudik di depan hidungku…..tapi apa daya, aku tak punya power. Semua kekritisan-ku yang kulempar sendiri di partai ini malah jadi bumerang bagiku. Aku dikucilkan di partai yang selama ini aku bela bahkan tak jarang aku prioritaskan dibandingkan istri dan anak-anakku sendiri, Miris…..!!! 

            Pemilu 2004 ini pun aku nekat maju mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dari partai x dengan no urut 3. Aku tak peduli, meskipun ketua DPP jelas2 memberi statement di publik hanya mendukung no urut 1 dan di luar itu coblos saja gambar partai tanpa no urut caleg. Hasilnya pun sudah ditebak, aku kalah dalam pemilu 2004.  Meskipun telah berpuluh-puluh juta uang kukeluarkan, aku tak terlalu kecewa toh’ sekali lagi aku hanya ingin memberikan pesan kepada mereka. Bahwa masih ada orang2 yang tanpa uang siap menjadi ‘pedang’ bagi mereka. Sebuah gertakan yang membangunkan tidur malas mereka agar lebih siaga!!!     

            Tahun 2006, “Saksikan Aku Seorang Muslim” sebuah judul buku yang dibaca salah satu putriku yang baru saja menjadi mahasiswa di salah satu kampus rakyat ternama. Seketika itu juga aku marah kepadanya, buat apa membeli buku agama lebih baik membeli buku pelajaran yang lebih bermanfaat. Putriku pun hanya diam, sebuah reaksi jitu darinya untuk menghentikan kekesalanku. Sebenarnya aku heran dengannya , semenjak menjadi mahasiswa begitu banyak perubahan yang terjadi padanya. Sempat terlintas di pikiranku, apakah ia menganut aliran Islam aneh2????.....Tapi entah mengapa aku pun tak mau terlalu ambil pusing termasuk saat ia memakai jilbab tanpa izin dulu kepadaku.

            Tahun 2008, aku berkunjung ke kosan putriku. Tak sengaja aku melihat buku-bukunya yang lagi-lagi berbau agama! Kulontarkan pertanyaan padanya apakah ia masuk golongan partai XXX yang mengaku bersih-profesional tapi toh nyata-nya sama saja dengan partai Islam yang lain. Aku berdebat dengannya tentang Indonesia, Nasionalisme, dan Negara Islam……… dan perdebatan pun aku ‘menangkan’, yah mungkin………….. 

            Entah mengapa semenjak itu aku sangat ingin mengenal Islam, aku sadar hidup ini hanya sementara. Apalagi sakit jantung yang hampir tujuh tahun menggerogotiku semakin parah. Konflik internal partai maupun keluarga semakin membuat nafasku semakin pendek. Tapi hari ini aku ingin sekali membeli buku2 agama…..sama seperti putriku.

            11 Juli 2008 malam, Selamat Ulang Tahun istriku tercinta. Mohon maaf belum bisa membahagiakanmu dan menjadi pendamping hidupmu yang terbaik. Besok Sore Insya Allah aku sampai di rumah, jaga anak2 baik2 ya sayang…………………..Anak-anak, Bapak bangga dengan kalian!!! Terimakasih untuk semuanya……. 

            12 Juli 2008, akhirnya buku-buku Islam yang kuinginkan kubeli. Buku-buku yang masih rapih terbungkus plastik bening itu aku masukkan ke dalam tas hitamku. Tapi Ya Rabb,,,,,,ada apa dengan diriku, mengapa jantung ini seakan berhenti, aku masih di jalan Ya Rabb….aku belum sempat bertemu istriku, anak-anakku di rumah,,,,,,,,,,,,,,dan ambulans pun mengantarkan jenazahku ke rumah tepat sore hari sesuai janjiku di telepon semalam dengan keluargaku. AllahhuAkbar, janji-Mu telah datang Ya Rabb.
KAPAN MOMENTUM ITU DATANG ???      


 "Maka ketika ia sampai pada kematangannya, Kami beri kekuasaan dan ilmu pengetahuan."
(QS. Al-Qoshosh: 14)
            Salah satu petikan surat cinta-Nya di atas memberikan pesan bahwa seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya, Suatu titik temu antara kematangan pribadi dan peluang sejarah. Akan tetapi kita tidak mengetahui kapan datangnya momentum  itu.


            Catatan hidup aktivis di depan mungkin bisa memberikan contoh, bahwa memang benar mungkin meski pun kita telah melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidup kita. Tapi jika momentum itu belum diberi oleh-Nya maka ledakan kepahlawanan tidak akan pernah terjadi. 

            Akan tetapi sekali lagi para pahlawan sejati tidak pernah mempersoalkan secara berlebihan masalah peluang sejarah. Kematangan pribadi seperti modal dalam investasi adalah lebih penting. Seperti apapun baiknya peluang kita, itu tidak berguna jika pada dasarnya kita tidak punya modal.


(Untuk Apa Aksi Turun Ke Jalan, Untuk Apa Aksi Intelektual, Untuk Apa Aksi Mengabdi Kepada Masyarakat????? Toh’ negeri ini masih saja seperti ini, kita gak punya power, legitimasi…percuma!!!”)


            Untuk pertanyaan dan statement di atas, maka izinkan saya untuk menjawabnya……………………………….
Sehingga usaha manusiawi yang dapat kita lakukan adalah mempercepat saat-saat kematangan pribadi kita. Mengumpulkan sebanyak mungkin potensi dalam diri kita, mengolahnya dan kemudian mengkristalisasikannya. Dengan cara begini kita telah memperluas "ruang keserbamungkinan" dan sedikitnya membantu menciptakan peluang sejarah. Atau, setidak-tidaknya mengantar kita untuk berdiri di pintu gerbang sejarah. Selebihnya, biarlah itu menjadi wilayah takdir dari-Nya, Insya Allah.


Teruslah Optimis Membangun Bangsa Indonesia yang Lebih Bermartabat, GO ACTION!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar